Rabu, 05 September 2012

Catatan dari Liverpool : Kalah Memang Bikin Lesu


Mohammad Resha Pratama - detikSport
Selasa, 04/09/2012 12:29 WIB

FOTO:detiksport/Resha Pratama
Liverpool - Saya akhirnya bisa menyaksikan langsung yang namanya suporter Liverpool di stadion kebesaran mereka, Anfield. Mengagumkan -- tapi ketika kalah tetap saja mereka lesu.

Anfield sudah begitu hiruk-pikuk dua jam sebelum kickoff menjamu Arsenal, Minggu (2/9) malam kemarin. Detiksport dan beberapa rekan media massa dari Indonesia berkesempatan menyambangi salah satu stadion paling terkenal di dunia itu atas undangan PT Garuda Indonesia selaku global partner Liverpool FC.

Saya tahu, begitu banyak testimoni tentang Liverpudlians dan Anfield. Yang terakhir saya baca adalah dari Carlo Ancelotti. Mantan bos Chelsea itu sampai bilang, "Dalam opini saya, suporter Liverpool adalah yang terbaik di dunia. Ketika mereka mulai menyanyikan lagu dukungan, rambut anda akan berdiri."

Well, tidak cuma rambut saya yang berdiri. Bulu kuduk saya juga seakan-akan jumpalitan ketika saya memasuki stadion yang sudah "merah" dan penuh riuh rendah itu. Baru situ saja saya sudah "gemetaran". Oya, maaf jika saya norak. Tapi kata orang, kesempatan langka tak boleh disia-siakan.

Kebetulan, saya fans berat klub kota kelahiran The Beatles ini. Jadi, ini sungguh sebuah momen dan pengalaman yang tak mungkin saya sia-siakan. Dan saya petang itu ada di situ, di Anfield, untuk menyaksikan langsung sebuah big match.

Maka tak perlu susah-susah membayangkan gairah suporter Liverpool menjelang kickoff. Dengan segala atribut klub kesayangan, mereka, laki-laki-perempuan, orangtua-pemuda-anak-anak, bernyanyi-nyanyi, berteriak-teriak. Ini adalah sebuah kesenangan. Ah, bukan. Ini lebih dari sekadar itu.

Dari obrolan saya dengan beberapa fans sebelum pertandingan, mereka mengaku sangat berharap Brendan Rodgers bisa memberi kemenangan pertamanya di laga ini.

"I dont know. Maybe i'm not really sure about this game. Tapi saya harap Brendan bisa menunjukkan kemampuannya dan memberi kami kemenangan," cetus Frank Steward (32), seorang pekerja kantoran.

Begitu pertandingan dimulai, oke, secara subyektif, sebagai penggemar Liverpool tentu saja, saya percaya bahwa suporter tim ini sungguh-sungguh luar biasa. Dan ya, saya pun akhirnya mendengarkan lagu "kebangsaan" itu dilantunkan tak henti-hentinya oleh mereka: You'll Never Walk Alone. Jujur, pembaca, saya sempat tak bisa berkata-kata, hehehe …

Suporter begitu ekspresif. Setiap kali Steven Gerrard menyerbu ke wilayah pertahanan Arsenal, mereka berdiri, menegang. Ketika Daniel Agger melakukan tekel bersih, mereka bertepuk tangan. Ketika Luis Suarez membuang peluang di kotak penalti, mereka memegang kepala, berseru "ough...". Dan ketika di menit 31 Lukas Podolski mengoyak jala Pepe Reina ….. mereka bungkam.

Dan mereka terdiam ketika di pertengahan babak kedua Santi Cazorla kembali menjebol gawang si botak Reina. Anfield terhenyak. Saya melihat raut-raut muka sedih dan kebingungan. Oh tidak, tim ini dilanda kekalahan.

Lalu, "kesoktahuan" saya muncul. Sebagai seorang fans Liverpool, dan berada di tengah-tengahan puluhan ribu suporter merah yang sedang dilanda kegalauan hebat di rumahnya sendiri ini, saya jadi ingin ikut memaki-maki sendiri.

Di awal kiprahnya di Liverpool, Rodgers sudah menemui kerikil-kerikil tajam yang menghalangi misinya merajut cerita indah di Merseyside, dari banyaknya pemain senior yang dilepas, plus keengganan Fenway Sports Group (FSG) dalam menginvestasikan dana besar untuk membeli pemain bintang.

Alhasil The Reds "cuma" bisa mendatangkan pemain sekelas Fabio Borini, Joe Allen dan Oussama Assaidi, serta meminjam Nuri Sahin. Memang performa Borini dan Allen di klub sebelumnya terbilang bagus, tapi apakah mereka berdua plus Sahin, yang musim lalu bermain tak lebih dari 10 kali di seluruh kompetisi bersama Real Madrid, cukup mampu membangunkan sang raksasa dari tidur panjangnya?

Hasil awalnya pun boleh dibilang belumlah memuaskan karena meski lolos ke babak utama Liga Europa dengan performa yang biasa-biasa saja, namun tiga laga awal Liga Inggris memperlihatkan memang revolusi Rodgers belum terlihat sedikitpun.

Dipecudangi West Bromwich Albion, Liverpool sempat memberi harapan kala merepotkan juara bertahan Manchester City dan sempat unggul sebelum bermain seri 2-2. Namun di laga ketiga kontra Arsenal, juara 18 kali Liga Inggris itu kembali tampil melempem.

Dari penilaian "sok tahu" saya, kebiasaan Liverpool bermain tanpa pola atau skema baku seperti musim lalu masihlah terlihat. Ditambah lagi performa Reina di bawah mistar sepertinya belum panas.

Kembali ke dalam Anfield, setelah Cazorla mencetak gol kedua untuk Arsenal, saya teringat pada harapan Frank Steward di atas. Harapan dan juga antusiasme Frank dan seisi Anfield tak terwujud. The Reds kalah 0-2.

Tidak bisa tidak, hanya kekecewaaan yang terlihat di Anfield setelah pertandingan selesai. Sebagian suporter malah ada yang meninggalkan stadion sebelum pertandingan usai, sesuatu yang sesungguhnya jarang terlihat kala Liverpool bermain di kandang sendiri.

Kelesuan itu terlihat dari jarangnya para Liverpudlian meneriakkan chant atau yel-yel untuk mendukung. Bahkan suporter Arsenal yang hadir di stadion sempat meneriakkan "Where is your famous atmosfer?" beberapa kali. Aneh, saya merasa ikut-ikutan panas mendengarnya, hehehe.

Kelesuan pun terlihat di wajah para suporter yang kebanyakan bergerumul di luar stadion usai pertandingan. Tatapan kosong serta celetukan-celetukan dan gerutuan seperti menggambarkan ketidakpercayaan mereka atas performa timnya saat ini. Langkah kaki yang berat para suporter saat berjalan seolah mentransformasi apa yang terjadi di atas lapangan pertandingan. Beberapa orang tampak kurang senang ketika saya membidikkan kamera saya ke arah mereka.

"Mereka sepertinya tidak tahu bagaimana mencetak gol. Bahkan untuk mengumpan saja mereka kesulitan. Benar-benar menyebalkan hari ini," keluh seorang fans bernama Hugh yang dengan wajah ketus mengucapkan kata-kata itu.

Tapi biarlah, kelesuan itu urusan mereka. Itu klub mereka dan hidup mereka ada di sana. Saya merasa cuma "tamu" di sini, walaupun menyimpan banyak replika jersey "Si Merah" di lemari baju saya di Jakarta. Tapi pengalaman merasakan Anfield dan segala atmosfernya sudah saya dapatkan -- dan takkan pernah terlupakan.

Saya seperti berhalusinasi, sebelum memejamkan mata di malam selarut itu, saya masih terngiang-ngiang pada lagu yang tadi menggemakan Anfield, yang jaraknya cuma 5 kilometer dari hotel tempat saya dan rombongan menginap: You'll Never Walk Alone.

Sampai jumpa.



( mrp / a2s )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar