SEBULAN lalu, barangkali tidak banyak orang yang menduga bahwa
Brendan Rodgers akan dipilih menjadi manajer klub Liga Utama Inggris
Liverpool. Tidak lama setelah manajer sebelumnya, Kenny Dalglish,
dipecat—padahal sudah membawa Liverpool menjuarai Piala Liga dan
finalis Piala FA—banyak pendukung Liverpool memperkirakan bahwa mereka
akan mendapatkan manajer lebih hebat dari Dalglish. Nama Louis van
Gaal—yang pernah menangani tim nasional Belanda dan
Barcelona—disebut-sebut menjadi salah satu favorit. Sementara beberapa
pemain menginginkan manajer sebelumnya, Rafael Benitez, untuk kembali
menangani klub tersebut.
Setelah Rodgers ditetapkan sebagai
pelatih, berbagai kalangan termasuk kapten Steven Gerrard memuji
pengangkatan mantan Pelatih Swansea tersebut. Namun, kalau Anda
memperhatikan dengan saksama, nada pernyataan mereka lebih pada usaha
untuk meyakinkan khalayak ramai, termasuk pendukung Liverpool, bahwa
Rodgers adalah pilihan tepat. Mereka berusaha memberikan kesan positif
karena pengangkatan ini boleh disebut berbeda dengan pola-pola
pengangkatan manajer sebelumnya.
Ini boleh jadi merupakan realisme
baru di sepak bola Inggris di tengah perekonomian Inggris dan Eropa
yang terus melesu dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah dengan
perekonomian Amerika Serikat yang masih juga belum menunjukkan
kebangkitan. Padahal, pemilik Liverpool, Fenway Sporting Groups,
berasal dari AS. Maka, tindakan pengangkatan Rodgers tampaknya pilihan
yang diambil oleh pengurus Liverpool bahwa mereka sekarang tidak lagi
bisa jor-joran dalam mengeluarkan dana.
Liverpool harus "membela"
keputusan mereka mengangkat Rodgers, karena walaupun dia dianggap
berhasil membawa Swansea menduduki peringkat 11 Premier League tahun
ini, pengalaman melatih Rodgers tidaklah bisa disebut luar biasa.
Kariernya sebagai pemain juga terbatas. Dia pernah menjadi pemain klub
Inggris, Reading, sebelum berhenti di usia 20 tahun karena cedera.
Ia
pernah menjadi pelatih tim yunior Chelsea ketika klub London Barat ini
ditangani Jose Mourinho. Di usia 39 tahun, Rodgers sekarang
disebut-sebut sebagai salah satu pelatih muda berbakat, tetapi tidak
bisa disangkal bahwa "prestasinya" di masa lalu tidaklah segemerlap
pelatih-pelatih Liverpool sebelumnya, seperti Rafael Benitez, Graeme
Souness, Gerald Houllier, apalagi pelatih legendaris seperti Bill
Shankly ataupun Bob Paisley.
Dalam peta persaingan sepak bola
Inggris, salah satu musuh bebuyutan Liverpool adalah Manchester United
dan klub sekota Everton. Everton lebih karena jarak stadion mereka
hanya berbeda 2 kilometer, Manchester United adalah musuh lebih besar
dari segi prestasi. Di bawah Sir Alex Ferguson, Manchester United
sekarang sudah melampaui prestasi Liverpool dengan berhasil merebut 19
gelar juara Premier League.
Saat ini, barangkali para pendukung
MU akan menarik napas lega bahwa klub saingannya hanya mendapat manajer
baru yang masih "hijau." Di sisi lain, keputusan Liverpool memilih
Rodgers bisa jadi menjadi taktik jitu. Dari sisi ekonomi, memilih
Rodgers dan bukan manajer hebat berarti bila nanti dia gagal, biaya
kompensasinya mungkin tidak akan semahal manajer seperti Van Gaal.
Dengan memilih Rodgers, Liverpool akan mulai dari posisi "rendah", apa
pun keberhasilan Liverpool di tengah lapangan di bawah asuhan Rodgers
akan dianggap sebagai prestasi. Masalahnya adalah apakah keberhasilan
itu akan memuaskan para pendukung di Anfield atau tidak dalam beberapa
bulan mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar