Senin, 04 Juni 2012

Rodgers, Realisme Baru di Sepak Bola Inggris

SEBULAN lalu, barangkali tidak banyak orang yang menduga bahwa Brendan Rodgers akan dipilih menjadi manajer klub Liga Utama Inggris Liverpool. Tidak lama setelah manajer sebelumnya, Kenny Dalglish, dipecat—padahal sudah membawa Liverpool menjuarai Piala Liga dan finalis Piala FA—banyak pendukung Liverpool memperkirakan bahwa mereka akan mendapatkan manajer lebih hebat dari Dalglish. Nama Louis van Gaal—yang pernah menangani tim nasional Belanda dan Barcelona—disebut-sebut menjadi salah satu favorit. Sementara beberapa pemain menginginkan manajer sebelumnya, Rafael Benitez, untuk kembali menangani klub tersebut.
Setelah Rodgers ditetapkan sebagai pelatih, berbagai kalangan termasuk kapten Steven Gerrard memuji pengangkatan mantan Pelatih Swansea tersebut. Namun, kalau Anda memperhatikan dengan saksama, nada pernyataan mereka lebih pada usaha untuk meyakinkan khalayak ramai, termasuk pendukung Liverpool, bahwa Rodgers adalah pilihan tepat. Mereka berusaha memberikan kesan positif karena pengangkatan ini boleh disebut berbeda dengan pola-pola pengangkatan manajer sebelumnya.
Ini boleh jadi merupakan realisme baru di sepak bola Inggris di tengah perekonomian Inggris dan Eropa yang terus melesu dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah dengan perekonomian Amerika Serikat yang masih juga belum menunjukkan kebangkitan. Padahal, pemilik Liverpool, Fenway Sporting Groups, berasal dari AS. Maka, tindakan pengangkatan Rodgers tampaknya pilihan yang diambil oleh pengurus Liverpool bahwa mereka sekarang tidak lagi bisa jor-joran dalam mengeluarkan dana.
Liverpool harus "membela" keputusan mereka mengangkat Rodgers, karena walaupun dia dianggap berhasil membawa Swansea menduduki peringkat 11 Premier League tahun ini, pengalaman melatih Rodgers tidaklah bisa disebut luar biasa. Kariernya sebagai pemain juga terbatas. Dia pernah menjadi pemain klub Inggris, Reading, sebelum berhenti di usia 20 tahun karena cedera.
Ia pernah menjadi pelatih tim yunior Chelsea ketika klub London Barat ini ditangani Jose Mourinho. Di usia 39 tahun, Rodgers sekarang disebut-sebut sebagai salah satu pelatih muda berbakat, tetapi tidak bisa disangkal bahwa "prestasinya" di masa lalu tidaklah segemerlap pelatih-pelatih Liverpool sebelumnya, seperti Rafael Benitez, Graeme Souness, Gerald Houllier, apalagi pelatih legendaris seperti Bill Shankly ataupun Bob Paisley.
Dalam peta persaingan sepak bola Inggris, salah satu musuh bebuyutan Liverpool adalah Manchester United dan klub sekota Everton. Everton lebih karena jarak stadion mereka hanya berbeda 2 kilometer, Manchester United adalah musuh lebih besar dari segi prestasi. Di bawah Sir Alex Ferguson, Manchester United sekarang sudah melampaui prestasi Liverpool dengan berhasil merebut 19 gelar juara Premier League.
Saat ini, barangkali para pendukung MU akan menarik napas lega bahwa klub saingannya hanya mendapat manajer baru yang masih "hijau." Di sisi lain, keputusan Liverpool memilih Rodgers bisa jadi menjadi taktik jitu. Dari sisi ekonomi, memilih Rodgers dan bukan manajer hebat berarti bila nanti dia gagal, biaya kompensasinya mungkin tidak akan semahal manajer seperti Van Gaal. Dengan memilih Rodgers, Liverpool akan mulai dari posisi "rendah", apa pun keberhasilan Liverpool di tengah lapangan di bawah asuhan Rodgers akan dianggap sebagai prestasi. Masalahnya adalah apakah keberhasilan itu akan memuaskan para pendukung di Anfield atau tidak dalam beberapa bulan mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar