Selasa, 01 Maret 2011

Bila MU Bertemu Liverpool


Catatan Sepakbola
Bila MU Bertemu Liverpool
LY Arifin : Sepakbola
detikcom - London,
Suatu saat sekitar
bulan November
1959 Bill Shankly
yang menjadi pelatih
di Huddersfield
didatangi dua petinggi
dari Liverpool. Terjadi
percakapan yang
cuplikannya kira-kira
seperti ini:
"Tidakkah Anda berminat menjadi pelatih di klub terbaik Inggris?"
tanya salah satu dari kedua petinggi Liverpool itu.
"Mengapa? Apakah Matt Busby mengundurkan diri?’" Shankly balas
bertanya.
Kita tahu apa yang ada di benak Shankly, karena Matt Busby
sedang berproses menjadi pelatih legendaris Manchester United
dan klub itu sedang merajai dunia persepakbolaan Inggris.
Sedangkan Liverpool saat itu sudah cukup bergembira duduk di
papan tengah divisi dua versi lama Liga Inggris.
Ini sekadar ilustrasi bahwa sebenarnya persaingan paling sengit di
antara kedua tim tersebut belumlah terlalu lama. Kalau dihitung
sejak Shankly memegang Liverpool tahun 1959, maka persaingan
sengit MU dan Liverpool baru berlangsung 50 tahun. Jauh lebih
muda dari persaingan sengit antara Liverpool dan Everton yang
sudah ada sejak 50 tahun sebelumnya, atau Manchester United
dan Manchester City, atau Arsenal dan Tottenham sejak tahun
1930-an, serta Chelsea dan Fulham ataupun Burnley dan
Blackburn.
Shankly mengagumi pemain-pemain MU maupun klub itu, tetapi
pada saat bersamaan mempunyai tekad membara untuk
menggoyang hirarki persepakbolaan Inggris. Membawa Liverpool
kembali ke puncak persepakbolaan Inggris. Dialah yang
sesungguhnya memantik persaingan sengit antara kedua klub
raksasa Inggris ini.
Shankly yang prestasinya biasa-biasa saja sebelum memegang
Liverpool, hanya dalam waktu lima tahun membawa Liverpool
dari klub papan tengah divisi dua menjadi juara divisi satu
menyingkirkan MU maupun -- yang lebih penting lagi sebenarnya
-- musuh bebuyutan satu kota sekaligus juara bertahan, Everton.
Dua tahun kemudian di tahun 1966 ia mengulangi prestasi itu.
Tahun 1965 ia membawa Liverpool menjuarai Piala FA untuk
pertama kalinya.
Shankly tidak lagi membawa Liverpool menjadi juara divisi satu
hingga tahun 1973. Namun dalam proses kebangkitan Liverpool ia
menanamkan rasa percaya diri yang luar biasa bahwa Liverpool
tidak kalah besar dengan klub lain. Bahwa bermain untuk Liverpool
adalah sebuah kehormatan. Dan andaipun Liverpool tidak menjadi
juara, sangat penting untuk mengalahkan mereka yang dianggap
terbesar dan tersukses, bagaimanapun caranya, bermain habis-
habisan seolah mati hidup tergantung pada pertandingan itu.
Shankly dengan sengaja menjadikan MU sebagai sasaran. Apalagi
ketika mereka di tahun 1968 menjadi klub Inggris pertama yang
memenangi Piala Champions. Boleh saja MU waktu itu
menganggap dirinya klub tersukses, tetapi bertemu Liverpool
mereka tahu reputasi itu tak ada artinya. Pertandingan akan
berlangsung seperti pertempuran habis-habisan.
Adalah "kehendak" sejarah bahwa di tahun 1970-an MU dan
Liverpool bertukar posisi. Ketika revolusi yang diawali oleh Shankly
diteruskan Bob Paisley dan kemudian Joe Fagan – dua asisten
pelatih Shankly -- membuat Liverpool bukan saja raja Inggris tetapi
juga Eropa, nasib MU terpuruk-puruk bahkan sempat terdegradasi
ke divisi dua di tahun 1975. Namun perseteruan antara kedua klub
sudah terlanjur mapan dan tidak mengendor untuk tidak dikatakan
malah makin sengit. Liverpool ganti menjadi klub paling sukses di
Inggris tetapi mereka tahu melawan MU adalah persoalan berbeda.
MU akan menjadi “Setan Merah” yang sesungguhnya dan
Liverpool harus bersiaga tanpa henti.
Sejak pertengahan tahun 60-an itulah pertarungan MU melawan
Liverpool menjadi salah satu pertandingan paling sengit dan paling
ditunggu publik Inggris, seolah lepas dari konteks keseluruhan
kompetisi liga. Kedua klub seperti bertekad, kalaulah tidak menjadi
juara maka yang lebih utama bagi MU adalah mengalahkan
Liverpool, begitupun sebaliknya.
Kedua klub saling mengukur pencapaian prestasi mereka dari apa
yang sudah diraih oleh keduanya. Ingatkah Anda ketika Alex
Ferguson untuk pertama kalinya datang ke MU lebih 20 tahun
silam? Ketika ditanya wartawan salah satu target utamanya
menjadi pelatih di Old Trafford, Ferguson tanpa sungkan
menjawab: "Menendang Liverpool dari puncak hirarki sepakbola
Inggris."
Seperti Shankly di Liverpool, Ferguson melakukan revolusi di MU.
Bedanya, Ferguson bukan sekadar memulai revolusi tetapi juga
menjaga revolusi itu untuk tidak padam. Ia masih saja menjadi
pelatih hingga kini. Ia memegang janjinya untuk menendang
Liverpool dari puncak hirarki sepakbola Inggris. Entah untuk berapa
lama lagi.
Kedua klub akan bertemu lagi akhir pekan ini. Kedua pendukung
klub akan membawa panji-panji prestasi mereka masing-masing:
kami lebih banyak memenangkan Piala Eropa dari kalian, Piala FA
kami lebih banyak, prestasi kami lebih bergengsi dan lain
sebagainya. Tetapi di hati kecil mereka semuanya tahu, catatan
prestasi itu tak lebih dekorasi semata. Yang lebih penting adalah
apa yang terjadi selama 90 menit di lapangan.
Pertemuan antara kedua kesebelasan ini ,apapun nama
kompetisinya, hanya mempunyai satu konteks: selama 90 menit
mana yang lebih hebat, klubmu atau klubku. Peduli amat dengan
kompetisi liga, Piala FA, Piala Liga, ataupun Liga Champions.
Atau ... ya kami peduli, tapi itu urusan nanti.
==
*) Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di London.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar