Minggu, 05 Mei 2013

Derby Merseyside: Jangan Belah Kota Kami

Yusuf Arifin - detikSport
Jumat, 03/05/2013 12:43 WIB
thumbnail
Derby Merseyside adalah derby paling menjengkelkan buat saya. Niat untuk menonton langsung tak pernah kesampaian. Setidaknya tiga kali saya sudah datang ke stadion, sekali di Anfield dan dua kali di Goodison Park, tiga kali pula saya mundur teratur.

Saya pikir kemampuan saya untuk selalu mendapatkan tiket di pertandingan apapun sudah lumayan hebat. Dibantu kemampuan tawar-menawar istri saya yang orang Padang, yang katanya jagoan alami untuk urusan tawar menawar ini, mudahlah untuk mendapat tiket dengan harga yang masuk akal. Ternyata salah. Gabungan kemampuan kami berdua tak berguna di Liverpool. Harga tiket di pasar gelap tetap membubung tinggi tak terjangkau kantong.

Meminta tolong jaringan kawan pendukung Liverpool dan Everton di London sama saja. Mereka hanya angkat bahu dan "Its Liverpool,"’ jawab pendukung Everton, atau "Its Everton," jawab pendukung Liverpool. Seolah jawaban singkat itu sudah menjelaskan semuanya.

Pertandingan Everton-Liverpool harus diakui memang agak berbeda dengan derby lain yang ada di Inggris ini. Penggemar kedua klub ini atau penggemar sepakbola Inggris saya yakin sudah tahu bagaimana pilin kelindan sejarah dua klub ini. Keduanya lahir dari rahim yang sama di Anfield. Everton dan Liverpool selayak saudara kandung yang berselisih.

Perselisihan itu mungkin saja sudah 120 tahun silam ketika Everton menolak kenaikan uang sewa Anfield dan memilih pindah, dan pemilik Anfield kemudian mendirikan Liverpool. Tetapi 120 tahun tidaklah bisa disebut lama dalam perputaran waktu. Apalagi untuk kota sekecil Liverpool yang penduduknya hingga sekarang tak lebih dari 500 ribu orang itu. Kalau melebar hingga ke kawasan sekitarnya bisa mencapai lebih satu juta.

Sangat gampang bagi cerita perselisihan itu untuk lestari hingga kini. Guratnya masih membekas dalam. Orang bilang perselisihan antarkelompok meninggalkan bekas, perselisihan saudara menghunjam ke ulu hati. Serapah "greedy bastard" -- haram jadah rakus -- dari 120 tahun yang lalu masih biasa saling mereka lontarkan. Siapa yang rakus tentu saja tergantung di mana anda berdiri dan klub mana yang anda dukung.

Mengingatkan akan adanya perselisihan itu juga sangat gampang. Stadion kedua klub hanya sepelemparan batu jauhnya. Hanya terpisahkan oleh sebuah taman kota, Stanley Park yang tak lebih dari 500 meter persegi besarnya. Goodison Park di barat laut Stanley Park, sementara Anfield di tenggara. Bagi penduduk Liverpool kedua stadion itu adalah monumen pengabadian perselisihan yang terjadi di masa lalu.

Pertandingan antara kedua klub ini karenanya membawa nuansa yang sangat "pribadi", khas Liverpool. Saya tak ingin melakukan penilaian dengan mengatakan kedua pendukung klub menyeret sejarah perselisihan dari masa lalu dalam rivalitas modern. Tetapi, beradalah sehari atau dua di Liverpool menjelang pertandingan, sangat sulit untuk tidak merasakan getarnya. Kota itu seperti terserang demam.

Karenanya, mereka yang mempunyai tiket jarang sekali yang mau melepaskannya, kecuali dengan harga yang tidak masuk akal seperti yang saya alami. Ini persoalan keluarga, orang lain tak perlu ikut bersaksi.

Mereka yang mempunyai tiket ingin menjadi saksi penuntasan perselisihan itu di lapangan. Membuktikan bahwa klub merekalah yang layak jadi penguasa Liverpool. Minimal penguasa hingga ke pertandingan berikutnya.

Namun, di samping warisan perselisihan yang tajam itu, derby Merseyside juga menghadirkan keharuan dan "kebingungan". Ini lagi-lagi khas derby Merseyside. Ia membelah kesetiaan keluarga, bapak dan anak, sepupu, saudara dekat dan jauh, kakek dan cucu, dan antarteman dekat dengan sangat nyata.



Dulu, di awal-awal pindahnya Everton dan berdirinya Liverpool, konon membelah pendukung kedua klub masih gampang. Mereka terpecah antara yang setuju dengan kepindahan Everton dari Anfield dan pendukung pemilik Anfield untuk mendirikan klub sendiri. Dan pendukung Everton sebagai klub yang lebih tua tentu saja lebih banyak.

Akan tetapi, seiring waktu terjadi "perkawinan campur" antarpendukung kedua klub. Liverpool seperti saya katakan bukanlah kota yang besar dengan jumlah penduduk yang tak terlalu besar. Hingga tahun 1970an perkawinan masih lazim terjadi antarsesama penduduk kota. Dan menjadi pendukung klub berbeda tentu saja tidak cukup menjadi landasan bagi cinta untuk kandas.

Muncullah generasi baru keluarga campuran. Bisa saja Ayah dan Ibu mendukung klub berbeda dan anak-anaknya juga mendukung klub yang berbeda-beda pula. Berbeda dalam pengertian Everton dan Liverpool tentunya. Jalinan itu menggurita ke seluruh Liverpool dan daerah sekitarnya.

Keluarga campuran seperti itu saya saksikan sendiri ketika tiga kali saya ke Liverpool berusaha menonton. Sambil menunggu pintu stadion dibuka seperti biasa, penonton menyempatkan diri minum segelas dua gelas bir di pub-pub yang bertebaran di sekitar stadion. Kakak adik, saudara, sepupu, ayah, ibu dan teman dengan atribut klub yang berbeda tampak akrab bercanda.

Saya yakin penggemar bola di Indonesia juga tidak sekali dua kali menangkap gambar di televisi, penonton dengan atribut Everton dan Liverpool duduk bersandingan. Karena memang derby ini berbeda dengan yang lain tidak menerapkan pemisahan pendukung. Lha, bagaimana mau dipisah kalau mereka satu keluarga?

Tak heran kalau pertandingan antara kedua klub yang bisa jadi sangat panas di lapangan disebut "friendly derby". Memang agak membingungkan, tapi itulah yang terjadi.

Campur baur kesetiaan juga terasa aneh kalau melihat mereka yang turun ke lapangan. Leighton Baines dan Leon Osman misalnya adalah pendukung Liverpool tetapi mereka menjadi pemain pilar Everton untuk saat ini.

Sementara Jamie Carragher yang pendukung Everton malah menjadi pemain Liverpool. Seperti juga Ian Rush, Robbie Fowler, Michael Owen dan Steve McManaman, di masa lalu kesemuanya adalah pendukung Everton tetapi menjadi legenda di Liverpool.

Untuk kasus pemain lebih gampang dijelaskan karena memang nasib sebagai pemain siapa yang tahu. Mereka akan bermain untuk siapa saja yang bersedia menampung mereka.

Karenanya, saran saya, kalau anda penggemar bola punya nasib baik dalam hidup bisa menonton langsung pertandingan Everton dan Liverpool, jangan lewatkan. Sejujurnya saya iri dengan anda. Anda akan bisa menyaksikan perselisihan 120 tahun mewujud di lapangan dengan kerasnya, atmosfer penonton yang tidak kalah panasnya, tetapi sangat aman karena ada balut keakraban dan kekeluargaan yang sangat. Aneh memang. Tapi justru karena itulah ini derby yang terunik di mata saya.




====

* Foto-foto: Getty Images
* Akun Twitter penulis: @dalipin68
* Tentang 'Dalipin Story', baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar