Kamis, 28 Juli 2011

Catatan Sepakbola Saatnya Menyanyikan Lagi 'Garuda di Dadaku'



Andi Abdullah Sururi : Sepakbola
detikcom - Jakarta,
Sudah sekitar
setengah tahun sejak
kali terakhir terjadi
gairah massal yang
begitu tinggi di
kalangan masyarakat
Indonesia pada tim
nasionalnya. Hari ini
momen itu datang
lagi di awal sebuah rezim baru PSSI.
Tak pernah terjadi sebelumnya ketika kiprah timnas Indonesia
begitu diekspos dan dinanti-nantikan pendukungnya, seperti yang
terjadi di Piala AFF 2010. Semua orang terkena demam timnas
dengan segala atributnya.
Pemandangan orang memakai jersey "Merah Putih" menjadi
sangat mudah dijumpai. Banyak pesepakbola telah dijadikan
selebritas oleh masyarakat dan media massa, seperti Cristian
Gonzalez, Irfan Bachdim, Bambang Pamungkas, Firman Utina,
sampai Markus Harison, yang juga beristrikan seorang artis.
Kala itu, tak henti-hentinya gerak-gerak timnas diikuti, mulai dari
latihan, pertandingan, studio televisi, sampai hotel, termasuk
semua kontroversi yang mengikutinya seperti eksploitasi PSSI
pada mereka yang menggiring skuad ke acara doa bersama,
sowan ke rumah seorang tokoh partai politik, dan tentu saja
buruknya manajemen ticketing dari PSSI era Nurdin Halid.
Hingar bingar itu agak mereda setelah Indonesia kalah dari Malaysia
di final. Bagusnya, suporter kita tidak mengamuk dan tetap
memberi apresiasi tinggi pada tim dan staf pelatih. Pengecualian
untuk Nurdin dan jajaran pengurusnya. Sepakbola berlanjut pada
agenda "Revolusi PSSI", yang memakan waktu berbulan-bulan
nan melelahkan (dan menyebalkan).
Pada akhirnya, perubahan itu terjadi. "Misi bersama" menyudahi
Nurdin cs telah tercapai pada kongres di Solo pada 9 Juli lalu.
Djohar Arifin Husin, yang didukung habis-habisan oleh kelompok
Arifin Panigoro, naik ke tampuk dan menjadi orang nomor satu
dalam struktur organisasi PSSI. Era telah berganti.
Masyarakat tetap terkaget-kaget ketika Djohar memutuskan tidak
lagi memakai tenaga Alfred Riedl sebagai pelatih timnas. Bagi
sebagian besar orang, laki-laki Austria itu dinilai tidak terlalu gagal
karena tidak membawa Indonesia menjuarai Piala AFF. Ia tetap
diterima karena bagaimanapun telah menanamkan sebuah fondasi
yang baru untuk tim nasional. Singkat kata, timnas di bawah
kendali Riedl menjanjikan.
Tapi PSSI tampak ingin betul-betul melenyapkan semua
"peninggalan" Nurdin. Ketika menemukan ketidakjelasan kontrak
Riedl -- konon, kontrak itu tidak resmi dengan organisasi, karena
tertuang di atas kertas yang tidak ber-kop PSSI -- Djohar pun
membukakan pintu keluar pada dia.
Apapun, era Riedl pun sudah berakhir. Kata orang, life goes on.
Hidup harus jalan terus, biarpun tanpa Riedl -- dalam konteks
kehidupan tim nasional. Pasukan "Garuda" kini ditangani orang
Belanda bernama Wim Rijsbergen, yang sebelumnya melatih PSM
Makassar yang di musim ini bermain di Liga Primer Indonesia.
Setelah melalui kontroversi suksesi pelatih dan minimnya
persiapan teknis, Indonesia menuai hasil cukup positif di kandang
Turkmenistan, di laga pertama babak kualifikasi Piala Dunia 2014
zona Asia putaran kedua. Bermain di lapangan yang "mengerikan",
permainan Ahmad Bustomi dkk cukup baik, walaupun kebobolan
lebih dulu. Namun kemudian mereka mampu membuat gol
penyama. Sedikit yang disayangkan adalah ketidakmampuan
memaksimalkan kesempatan ketika seorang pemain lawan dikartu
merah di babak kedua.
Skor 1-1 dibawa pulang ke tanah air, diiringi dengan ekspektasi
suporter yang langsung menggeliat. Sejak awal minggu ini gairah
itu muncul lagi. Senayan harus digelorakan lagi Kamis (28/7)
malam ini. Baju merah harus dikenakan lagi, dan lain-lain, dan lain-
lain.
Harapan baru telah ditanam lagi, dan kadarnya selalu tinggi.
Suporter sangat berharap perjalanan Indonesia di kualifikasi Piala
Dunia tidak berusia pendek. Paling tidak, kita harus masuk babak
grup utama di zona ini.
Harapan itu bahkan sudah berubah wujud menjadi keyakinan
bahwa timnas akan bisa mengalahkan Turkmenistan di Jakarta. Tak
hanya di kalangan suporter, optimisme itu pun sudah menjangkiti
para pemain. Buktinya, staf pelatih sampai membuat "peringatan"
supaya anak-anak tidak over confidence.
Apapun, kita sudah mendapatkan spirit itu, spirit untuk memulai
lagi menuju sesuatu yang lebih baik. Faktanya, kecintaan orang
Indonesia pada timnasnya teramat jauh di atas kesetiaan mereka
untuk menunggu perubahan di tubuh PSSI.
Terkadang, yang ingin mereka lihat cuma satu: timnas berprestasi
di lapangan, siapapun yang menjalankan organisasi itu. Pengurus
yang tidak becus apalagi korup, itu adalah petaka. Pengurus yang
profesional, bagus, dan cerdas, itu sudah semestinya. Timnas
yang berprestasi, itu adalah mimpi panjang yang belum
berkesudahan.
Semoga kita memang benar-benar sudah berada di halaman
pertama sebuah bab baru dalam buku persepakbolaan Indonesia.
==
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar