Selasa, 03 September 2013

100 Tahun Bill Shankly (Bagian 1) : Shankly dan Khotbah di Atas Bukit


Vetricia Wizach - detikSport
Senin, 02/09/2013 17:07 WIB
thumbnail Getty Images
Bill Shankly telah menjadi sebentuk mitologi. Di mana-mana, mitos memang tak selalu akurat, karena mitos memang tak mengejar akurasi. Pokok dari mitologi adalah menggambarkan sesuatu yang kompleks ke dalam bentuk yang sederhana, mudah dimengerti dan diterima, sehingga narasi mitologi itu bisa terus menerus direproduksi dalam berbagai versi.

Atau, seperti yang dengan cemerlang digambarkan DH Lawrence, sastrawan terkemuka Inggris yang masyhur dengan novel "haram" berjudul Lady Chatterley's Lover, mitologi adalah upaya mengisahkan totalitas pengalaman manusia untuk menjelaskan kejiwaan secara lebih dalam, sangat mendalam, sampai menukik ke dalam darah dan jiwa.

Mitologi Shankly bersemayam di dalam darah dan jiwa klub Liverpool. Dan sebagai sebuah narasi, sejarah Liverpool seringkali dipantulkan, digambarkan, atau bahkan kadang diwakili oleh apa yang pernah dilakukan, diucapkan dan dialami oleh Bill Shankly.

Narasi Shankly

Hal tersulit dalam menuliskan Bill Shankly adalah tidak terjebak dalam retorika. Mengabadikan Shankly dalam kata-kata, Anda bisa saja menggunakan retorika tentang kharismanya yang mampu membius ratusan ribu suporter Liverpool. Bisa juga mengutip ucapannya yang menyatakan bahwa sepakbola lebih penting dari hidup itu sendiri. Atau, mengingat retorika tentang ia yang mengagungkan posisi nomor satu. Bahwa "if you’re first, you’re fist, and if you’re second you’re nothing".

Sebagai seorang berkarakter kuat, yang mampu membuat pendengarnya terdiam dan meng-iya-kan semua idenya, Shankly memang biasa diingat dengan kutipan. Sosoknya juga akrab dikenang melalui gimmick. Atau, lewat cungkilan cerita singkat yang telah diulang ribuan kali.

Dan semuanya, sampai batas tertentu, bisa dibenarkan. Fans yang mencium ujung kaki Shankly memang pernah terjadi. Bahkan cerita dan foto kejadian ini kerap diulang dari masa-masa saat membicarakan bagaimana Shankly sangat dicintai Liverpool. Pun dengan ribuan pendukung Liverpool yang mengelukan namanya dalam nada himne Amazing Grace, seperti umat yang memanggil pemimpinnya. Ini bukan pemandangan aneh di era 60-an.

Dan dengan ucapan Shankly yang mudah untuk diingat dan diceritakan ulang, maka reproduksi massal apa-apa yang pernah keluar dari mulutnya juga bukan hal aneh.

Tapi kurang adil rasanya mengingat sosok yang lahir 100 tahun lalu di tanggal 2 September ini jadi sekadar apa yang terlihat di media. Seolah-olah dengan hanya menggunakan kalimat-kalimat indah saja ia bisa membangkitkan klub di divisi dua jadi salah satu klub terbaik Inggris. Seolah-olah ia hidup sebagai dewa dalam mitos yang ceritanya kerap terdistorsi seiring waktu.

Karena cerita tentang Shankly bukan cerita tentang dewa. Tapi tentang manusia, tentang perjuangannya sebagai seorang manusia, tentang dan bagaimana ia menjadikan manusia --atau "the people" dalam bahasa Shankly -- sebagai pusat kehidupannya.

Sepakbola adalah cerita tentang manusia di bumi manusia. Segala dongeng tentang kesenangan dan serba mendewa-dewakan sebenarnya tidak terlalu menarik. Kisah-kisah macam itu, bukan cerita tentang kemanusiaan kita, tapi tentang surga, di mana semuanya berjalan mulus, rapi dan sempurna. Dan epik macam itu jelas tidak terjadi di atas tanah yang kita injak ini.

Apa Semua Ini Cukup?

Saat Shankly pertama kali menginjakkan kakinya ke Anfield di bulan Desember 1959, Liverpool adalah klub divisi bawah yang tak mau ke mana-mana. Pemilik yang tak mau mengambil risiko finansial, dan manajer yang senang dengan kondisi biasa-biasa saja, jadi norma. Direkrutnya Shankly dari Huddersfield pun --kala itu satu divisi di atas Liverpool-- hanya untuk membawa Liverpool promosi, dan "aman duduk di posisi ketiga atau keempat dari bawah". Klub yang puas jadi medioker.

Demikian pula dengan pendukungnya. Ada teriakan dan "geraman" yang datang dari tribun, namun bukan dalam satu kesatuan yang bisa mengintimidasi lawan. Mereka cukup bahagia jika ada satu atau dua hal di atas lapangan yang bisa disoraki.

Shankly yang membalikkan keadaan ini. Ia meminta uang pada para direktur untuk mendapatkan pemain muda terbaik di Britania. Dengan tangannya sendiri, Shankly juga membersihkan lapangan latihan dari batu, sampah, dan rumput liar. Buatnya, hanya fasilitas terbaiklah yang hanya boleh ada di Liverpool. Mulai dari tukang sapu di stadion hingga para pemilik modal, dituntutnya agar memberikan usaha terkeras.

"Jika saya jadi tukang sampah, maka saya akan jadi tukang sampah terbaik di Liverpool. Saya akan buat Liverpool jadi kota terbersih di dunia. Saya akan mengajak semua tukang sampah bekerja sebaik mungkin, dan saya akan pastikan mereka dibayar dengan pantas. Tapi mungkin ada orang yang bertanya, buat apa menghargai tukang sampah atas pekerjaan yang semua orang bisa lakukan? Tapi saya akan bertanya balik, mengapa mereka menganggap diri mereka lebih penting dari tukang sampah? Saya akan bertanya seberapa bangga mereka jika kota mereka jadi kota terbersih di dunia? Dan siapa yang akan membuat mereka bangga? Tukang sampah," ujar Shankly dalam satu wawancara.

"Jika semua orang berpikir demikian, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan kemampuan terbaiknya, maka itulah kejujuran," katanya lagi. Sebagai seorang sosialis, bentuk kejujuran inilah yang ia inginkan dari setiap orang yang bekerja dengannya. Tak terkecuali di Liverpool.

Shankly juga menuntut adanya profesionalisme, kepercayaan diri, disiplin, optimisme dan ambisi dari seluruh orang-orang di sekitarnya. Ia membuat orang percaya bahwa Liverpool adalah klub terbaik di dunia, walau saat itu hanya jadi klub terbaik kedua di kotanya sendiri.

"Saking terbiasanya Liverpool dengan ketidaksuksesan, mereka jadi pesimistik. Seakan takut untuk melakukan apapun. Saya berjuang keras untuk membuat orang percaya bahwa adalah mungkin untuk jadi sukses," ujar Shankly.

Rapat direksi pun jadi medan pertempuran pribadi Shankly dengan para pemilik uang. Shankly akan berteriak "jangan beli bola yang 5 pounds itu, dan beli yang lebih baik seharga 10 pounds." Ia juga bertengkar untuk meyakinkan direksi bahwa Liverpool tidak akan bisa mendapatkan pemain yang baik hanya dengan dana 3000 poundsterling.

Keributan seperti inilah yang terjadi hampir setiap musim. Shankly akan meminta dana untuk membeli pemain bagus, dan direksi akan membantahnya dengan dalih bahwa Liverpool dalam kondisi yang baik-baik saja.

Beradu mulut dengan para direksi ini bukannya tidak menghabiskan energinya. Hampir setiap musim pula Shankly bertanya pada dirinya sendiri, apakah perdebatannya tidak sia-sia? Bertarung melawan musuh di lapangan sudah cukup berat, tapi mengapa masih ada pertengkaran internal untuk meyakinkan orang? Apakah yang ia lakukan untuk Liverpool sudah cukup?



Demi Kota Liverpool, Demi Penduduk Liverpool

Sukses di lapangan datang seiring dengan peningkatan kualitas tim dan kondisi klub. Demikian pula dengan kondisi di teras stadion. Kembalinya kebanggaan pada klub, direspons dengan suara lantang suporter di tribun. Kecintaan pada sosok Shankly cepat berubah jadi semacam pemujaan. Di saat-saat trofi tak kunjung datang, para suporter selalu setia di sampingnya. Mereka menolak untuk meragukan Shankly.

Menurut Brian Reade dalam buku "43 Years With The Same Bird: A Liverpudlian Love Affair", ikatan antara suporter dan pelatih seperti ini belum pernah terlihat sebelumnya. Shankly memulai sesuatu yang unik dalam sepakbola, yaitu pelatih sebagai idola. Tradisi inilah yang dipertahankan hingga saat ini. Sementara hanya pemain-pemain spesial saja jadi banner di tribun, wajah para manager tak pernah absen dipampangkan di setiap pertandingan kandang.

Ini bukan tanpa sebab. Selain karena berhasil memberikan harapan akan kesuksesan, ketulusan Shankly sampai pada para pendukung Liverpool. Sikapnya yang menghargai semua orang, bahkan yang terendah dalam strata sosial sekalipun, membuat Shankly populer. Ia dianggap jadi salah satu dari mereka.

Semenjak Shankly menginjakkan kaki ke dalam Anfield, suporter Liverpool sendiri seakan dijadikannya pusat dunia. Dalam pikirannya, Liverpool Football Club dimiliki oleh para suporter, dan bukan direksi atau para pemegang saham. Bahkan, saat baru direkrut dan pertama kali, melihat kondisi Anfield yang hancur, Shankly sempat berujar pada Ness istrinya, "tempat ini tidak cukup baik untuk kota Liverpool. Para pemain di tim ini tidak cukup baik untuk penduduk kota Liverpool".

Nyaris 15 tahun kemudian, setelah memenangkan Piala FA pada 1974, pikiran ini pun tidak pernah meninggalkan benak Shankly.

Di hadapan 100.000 pendukung Liverpool, Shankly berdiri di atas podium di St. George Hall. Dengan satu tangan di saku, dia berbicara pada lautan merah yang terdiam mendengarkan: "Semenjak saya datang ke Liverpool, ke Anfield, saya telah berulang kali berucap pada pemain saya bahwa mereka seharusnya merasa terhormat bermain untuk kalian. Dan jika mereka sebelumnya tidak percaya pada saya, mereka akan percaya sekarang."

Di atas podium itu, Shankly berbicara tentang kepercayaan manusia Liverpool, the people, terhadap dirinya. Inilah nubuat Shankly yang diucapkannya di ketinggian kota Liverpool. Nubuat itu sampai sekarang masih berlaku dan akan terus berlaku. Liverpool akan tetap percaya kepada Shankly.

Para nabi, kadang, memang berkhotbah di atas bukit. Apa boleh bikin.




(Bersambung)


===

* Akun twitter penulis: @vetriciawizach dari @panditfootball

Tidak ada komentar:

Posting Komentar