Vetricia Wizach - detikSport
Senin, 02/09/2013 17:07 WIB
Getty Images
Bill Shankly telah menjadi sebentuk mitologi. Di mana-mana,
mitos memang tak selalu akurat, karena mitos memang tak mengejar
akurasi. Pokok dari mitologi adalah menggambarkan sesuatu yang kompleks
ke dalam bentuk yang sederhana, mudah dimengerti dan diterima, sehingga
narasi mitologi itu bisa terus menerus direproduksi dalam berbagai
versi.
Atau, seperti yang dengan cemerlang digambarkan DH
Lawrence, sastrawan terkemuka Inggris yang masyhur dengan novel "haram"
berjudul
Lady Chatterley's Lover, mitologi adalah upaya
mengisahkan totalitas pengalaman manusia untuk menjelaskan kejiwaan
secara lebih dalam, sangat mendalam, sampai menukik ke dalam darah dan
jiwa.
Mitologi Shankly bersemayam di dalam darah dan jiwa klub
Liverpool. Dan sebagai sebuah narasi, sejarah Liverpool seringkali
dipantulkan, digambarkan, atau bahkan kadang diwakili oleh apa yang
pernah dilakukan, diucapkan dan dialami oleh Bill Shankly.
Narasi ShanklyHal
tersulit dalam menuliskan Bill Shankly adalah tidak terjebak dalam
retorika. Mengabadikan Shankly dalam kata-kata, Anda bisa saja
menggunakan retorika tentang kharismanya yang mampu membius ratusan ribu
suporter Liverpool. Bisa juga mengutip ucapannya yang menyatakan bahwa
sepakbola lebih penting dari hidup itu sendiri. Atau, mengingat retorika
tentang ia yang mengagungkan posisi nomor satu. Bahwa
"if you’re first, you’re fist, and if you’re second you’re nothing".
Sebagai
seorang berkarakter kuat, yang mampu membuat pendengarnya terdiam dan
meng-iya-kan semua idenya, Shankly memang biasa diingat dengan kutipan.
Sosoknya juga akrab dikenang melalui
gimmick. Atau, lewat cungkilan cerita singkat yang telah diulang ribuan kali.
Dan
semuanya, sampai batas tertentu, bisa dibenarkan. Fans yang mencium
ujung kaki Shankly memang pernah terjadi. Bahkan cerita dan foto
kejadian ini kerap diulang dari masa-masa saat membicarakan bagaimana
Shankly sangat dicintai Liverpool. Pun dengan ribuan pendukung Liverpool
yang mengelukan namanya dalam nada himne
Amazing Grace, seperti umat yang memanggil pemimpinnya. Ini bukan pemandangan aneh di era 60-an.

Dan
dengan ucapan Shankly yang mudah untuk diingat dan diceritakan ulang,
maka reproduksi massal apa-apa yang pernah keluar dari mulutnya juga
bukan hal aneh.
Tapi kurang adil rasanya mengingat sosok yang
lahir 100 tahun lalu di tanggal 2 September ini jadi sekadar apa yang
terlihat di media. Seolah-olah dengan hanya menggunakan kalimat-kalimat
indah saja ia bisa membangkitkan klub di divisi dua jadi salah satu klub
terbaik Inggris. Seolah-olah ia hidup sebagai dewa dalam mitos yang
ceritanya kerap terdistorsi seiring waktu.
Karena cerita tentang
Shankly bukan cerita tentang dewa. Tapi tentang manusia, tentang
perjuangannya sebagai seorang manusia, tentang dan bagaimana ia
menjadikan manusia --atau
"the people" dalam bahasa Shankly -- sebagai pusat kehidupannya.
Sepakbola
adalah cerita tentang manusia di bumi manusia. Segala dongeng tentang
kesenangan dan serba mendewa-dewakan sebenarnya tidak terlalu menarik.
Kisah-kisah macam itu, bukan cerita tentang kemanusiaan kita, tapi
tentang surga, di mana semuanya berjalan mulus, rapi dan sempurna. Dan
epik macam itu jelas tidak terjadi di atas tanah yang kita injak ini.
Apa Semua Ini Cukup?Saat
Shankly pertama kali menginjakkan kakinya ke Anfield di bulan Desember
1959, Liverpool adalah klub divisi bawah yang tak mau ke mana-mana.
Pemilik yang tak mau mengambil risiko finansial, dan manajer yang senang
dengan kondisi biasa-biasa saja, jadi norma. Direkrutnya Shankly dari
Huddersfield pun --kala itu satu divisi di atas Liverpool-- hanya untuk
membawa Liverpool promosi, dan "aman duduk di posisi ketiga atau keempat
dari bawah". Klub yang puas jadi medioker.
Demikian pula dengan
pendukungnya. Ada teriakan dan "geraman" yang datang dari tribun, namun
bukan dalam satu kesatuan yang bisa mengintimidasi lawan. Mereka cukup
bahagia jika ada satu atau dua hal di atas lapangan yang bisa disoraki.
Shankly
yang membalikkan keadaan ini. Ia meminta uang pada para direktur untuk
mendapatkan pemain muda terbaik di Britania. Dengan tangannya sendiri,
Shankly juga membersihkan lapangan latihan dari batu, sampah, dan rumput
liar. Buatnya, hanya fasilitas terbaiklah yang hanya boleh ada di
Liverpool. Mulai dari tukang sapu di stadion hingga para pemilik modal,
dituntutnya agar memberikan usaha terkeras.
"Jika saya jadi
tukang sampah, maka saya akan jadi tukang sampah terbaik di Liverpool.
Saya akan buat Liverpool jadi kota terbersih di dunia. Saya akan
mengajak semua tukang sampah bekerja sebaik mungkin, dan saya akan
pastikan mereka dibayar dengan pantas. Tapi mungkin ada orang yang
bertanya, buat apa menghargai tukang sampah atas pekerjaan yang semua
orang bisa lakukan? Tapi saya akan bertanya balik, mengapa mereka
menganggap diri mereka lebih penting dari tukang sampah? Saya akan
bertanya seberapa bangga mereka jika kota mereka jadi kota terbersih di
dunia? Dan siapa yang akan membuat mereka bangga? Tukang sampah," ujar
Shankly dalam satu wawancara.
"Jika semua orang berpikir
demikian, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil dengan kemampuan
terbaiknya, maka itulah kejujuran," katanya lagi. Sebagai seorang
sosialis, bentuk kejujuran inilah yang ia inginkan dari setiap orang
yang bekerja dengannya. Tak terkecuali di Liverpool.
Shankly juga
menuntut adanya profesionalisme, kepercayaan diri, disiplin, optimisme
dan ambisi dari seluruh orang-orang di sekitarnya. Ia membuat orang
percaya bahwa Liverpool adalah klub terbaik di dunia, walau saat itu
hanya jadi klub terbaik kedua di kotanya sendiri.
"Saking
terbiasanya Liverpool dengan ketidaksuksesan, mereka jadi pesimistik.
Seakan takut untuk melakukan apapun. Saya berjuang keras untuk membuat
orang percaya bahwa adalah mungkin untuk jadi sukses," ujar Shankly.
Rapat
direksi pun jadi medan pertempuran pribadi Shankly dengan para pemilik
uang. Shankly akan berteriak "jangan beli bola yang 5 pounds itu, dan
beli yang lebih baik seharga 10 pounds." Ia juga bertengkar untuk
meyakinkan direksi bahwa Liverpool tidak akan bisa mendapatkan pemain
yang baik hanya dengan dana 3000 poundsterling.
Keributan seperti
inilah yang terjadi hampir setiap musim. Shankly akan meminta dana
untuk membeli pemain bagus, dan direksi akan membantahnya dengan dalih
bahwa Liverpool dalam kondisi yang baik-baik saja.
Beradu mulut
dengan para direksi ini bukannya tidak menghabiskan energinya. Hampir
setiap musim pula Shankly bertanya pada dirinya sendiri, apakah
perdebatannya tidak sia-sia? Bertarung melawan musuh di lapangan sudah
cukup berat, tapi mengapa masih ada pertengkaran internal untuk
meyakinkan orang? Apakah yang ia lakukan untuk Liverpool sudah cukup?
Demi Kota Liverpool, Demi Penduduk LiverpoolSukses
di lapangan datang seiring dengan peningkatan kualitas tim dan kondisi
klub. Demikian pula dengan kondisi di teras stadion. Kembalinya
kebanggaan pada klub, direspons dengan suara lantang suporter di tribun.
Kecintaan pada sosok Shankly cepat berubah jadi semacam pemujaan. Di
saat-saat trofi tak kunjung datang, para suporter selalu setia di
sampingnya. Mereka menolak untuk meragukan Shankly.
Menurut Brian Reade dalam buku
"43 Years With The Same Bird: A Liverpudlian Love Affair",
ikatan antara suporter dan pelatih seperti ini belum pernah terlihat
sebelumnya. Shankly memulai sesuatu yang unik dalam sepakbola, yaitu
pelatih sebagai idola. Tradisi inilah yang dipertahankan hingga saat
ini. Sementara hanya pemain-pemain spesial saja jadi banner di tribun,
wajah para manager tak pernah absen dipampangkan di setiap pertandingan
kandang.
Ini bukan tanpa sebab. Selain karena berhasil memberikan
harapan akan kesuksesan, ketulusan Shankly sampai pada para pendukung
Liverpool. Sikapnya yang menghargai semua orang, bahkan yang terendah
dalam strata sosial sekalipun, membuat Shankly populer. Ia dianggap jadi
salah satu dari mereka.
Semenjak Shankly menginjakkan kaki ke
dalam Anfield, suporter Liverpool sendiri seakan dijadikannya pusat
dunia. Dalam pikirannya, Liverpool Football Club dimiliki oleh para
suporter, dan bukan direksi atau para pemegang saham. Bahkan, saat baru
direkrut dan pertama kali, melihat kondisi Anfield yang hancur, Shankly
sempat berujar pada Ness istrinya, "tempat ini tidak cukup baik untuk
kota Liverpool. Para pemain di tim ini tidak cukup baik untuk penduduk
kota Liverpool".
Nyaris 15 tahun kemudian, setelah memenangkan Piala FA pada 1974, pikiran ini pun tidak pernah meninggalkan benak Shankly.
Di
hadapan 100.000 pendukung Liverpool, Shankly berdiri di atas podium di
St. George Hall. Dengan satu tangan di saku, dia berbicara pada lautan
merah yang terdiam mendengarkan: "Semenjak saya datang ke Liverpool, ke
Anfield, saya telah berulang kali berucap pada pemain saya bahwa mereka
seharusnya merasa terhormat bermain untuk kalian. Dan jika mereka
sebelumnya tidak percaya pada saya, mereka akan percaya sekarang."
Di atas podium itu, Shankly berbicara tentang kepercayaan manusia Liverpool,
the people,
terhadap dirinya. Inilah nubuat Shankly yang diucapkannya di ketinggian
kota Liverpool. Nubuat itu sampai sekarang masih berlaku dan akan terus
berlaku. Liverpool akan tetap percaya kepada Shankly.
Para nabi, kadang, memang berkhotbah di atas bukit. Apa boleh bikin.

(Bersambung)
===
* Akun twitter penulis: @vetriciawizach dari @panditfootball